Menu

Mode Gelap
Tempuh Jalur Hukum, Polda Diminta Tangkap Aktor Demo Rumah Tahfiz Siti Hajar Anies Unggul Telak di Polling Capres Tokoh NU, Nadirsyah Hosen Dr. H. Jeje Zaenuddin Pimpin PERSIS Masa Jihad Tahun 2022 – 2027. Ini Harapan PW Persis Sumut Begini Solusi Kelola BBM dan Listrik dari Ketua Pemuda Persis Kota Medan Mulia: Perda No. 5/2015 Jadi Proteksi Bagi Pemkot Medan Bantu Warga Tak Mampu

Politik · 27 Feb 2023 09:52 WIB ·

Pemilu 2024: Quo Vadis Politik Islam?


Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terasa makin kehilangan makna karena kesenjangan sosial yang kian lebar dan dalam. Ini disebabkan diantaranya karena partai-partai Islam yang ada, belum mampu menjadi penyalur aspirasi umat Islam. Perbesar

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terasa makin kehilangan makna karena kesenjangan sosial yang kian lebar dan dalam. Ini disebabkan diantaranya karena partai-partai Islam yang ada, belum mampu menjadi penyalur aspirasi umat Islam.

Oleh : Tim Aktivis Dakwah Al-Misbah

MisbahNEWS, Medan – Di tengah mulai bergulirnya tahun politik, politisi-politisi Islam diharapkan tetap mengusung gagasan Politik Islam dalam kontestasi Pemilu 2024 nanti. Politik Islam (as-Siyasah asy-Syar’iyyah) merupakan instrumen utama bagi pencapaian kemaslahatan umat, sesuai dengan maknanya, yakni mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan (umat) berdasarkan Syariat Islam.

Pendapat ini mengemuka dalam acara diskusi keumatan bertajuk Pemilu 2024: Quo Vadis Politik Islam  pada Ahad (26/2/2023) lalu, yang di digelar oleh KoLU IRSA (Komunitas Literasi Umat Islam Rahmat Semesta) di Prana Café, Kawasan Denai. Diskusi ini diikuti oleh sejumlah tokoh Islam, tokoh masyarakat, politisi dan praktisi hukum di Sumatera Utara. Hadir antara lain Rafdinal, SSos, MAP (Bacalon DPD RI Dapil Sumatera Utara) dan Wasis Wiseso Pamungkas, SPt (Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPW PKS Sumatera Utara) sebagai pemateri utama.

Sedangkan pemateri pembanding, hadir Ustadz H. Azwir lbnu Aziz (Majelis Az Zikra) dan Ustadz H. Muclish Syam, SH (Tokoh Islam senior dari komunitas Al Misbah). Hadir pula Muhammad Hendra, SH (lawyer, pengurus Peradi Sumut, sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia), Syaifuddin Zuhri (Sekjend Fosil BKM Kota Medan) dan Rahmadsyah Putra Tarigan (Ketua PAC PP Medan Area).

Diskusi dipandu oleh Sekretaris Eksekutif KoLU, Baun Soripada Siregar, sebagai moderator. Dalam penjelasannya, Bang Baun (demikian beliau lebih akrab dipanggil) menyampaikan bahwa diskusi kali ini merupakan sesi kedua dari Diskusi Keumatan yang diselenggarakan oleh KoLU IRSA setelah gelaran sesi pertama pada bulan lalu.

Menurutnya, KoLU IRSA akan terus menyelenggarakan diskusi serupa setiap bulannya untuk mencari irisan antara agenda-agenda politik politisi Islam dan selanjutnya mengusungnya sebagai agenda keumatan. “Secara bergiliran KoLU IRSA akan mengundang tokoh-tokoh politik Islam sebagai narasumber di hadapan para aktivis dan penggiat agenda keummatan di Kota Medan,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Rafdinal memaparkan Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan. Islam memiliki konsep yang jelas dalam berpolitik, tapi penerapannya dalam tataran bernegara masih memiliki pro-kontra. Setidaknya, ada tiga pendapat dalam penerapan politik Islam dalam konteks bernegara.

Pertama, pendapat yang menghendaki adanya pemerintahan dalam bentuk khilafah. Khilafah adalah sebuah konsep tentang kenegaraan yang berdasarkan syariat Islam dan pemimpinnya disebut Khalifah. Khilafah dianggap syarat utama untuk bisa menegakkan politik dan syariat Islam. Istilah khilafah biasanya populer di kalangan sunni, sedangkan di kalangan syiah lebih populer disebut imamah.

Khilafah diperlukan, karena hukum Islam tidak akan tegak kecuali adanya seorang khalifah. Bentuk sistem khilafah itu sendiri untuk pertama kalinya diterapkan oleh para Khalifah Khulafaurrasyidin, yang secara tegas adalah sebagai Khalifaturrasul. Kemudian dilanjutkan oleh Daulat Bani Umayyah, Daulat Bani Abbasiyah, dan Daulat Bani Utsmaniyah.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa untuk menegakkan politik dan syariat Islam, bentuk negara tidak terlalu penting. Islam tidak memiliki bentuk pemerintahan yang baku dan tetap. Bentuk pemerintahan apa saja bisa untuk menerapkan politik dan syariat Islam. Contoh populernya adalah Turki dan Arab Saudi. Negara Turki menerapkan demokrasi untuk memperjuangkan tegaknya nilai dan syariat Islam. Sedangkan Arab Saudi merupakan negara dengan sistem monarki (kerajaan) untuk menegakkan syariat Islam.

Ketiga, merupakan pendapat yang mengatakan bahwa tidak perlu adanya hubungan antara negara dengan agama dalam menjalankan pemerintahan. Masing-masing memiliki urusannya sendiri.

Perpecahan pendapat untuk mengangkat seorang pemimpin sudah muncul, bahkan di kalangan sahabat sendiri, sejak meninggalnya Rasulullah. Ini sesuatu yang wajar. Karena itu, walau Indonesia bukan negara Islam, perjuangan politik Islam harus fokus dengan memanfaatkan sarana/saluran dan strategi yang ada. Ini merupakan ruang ijtihad muamalah dalam bidang politik”, papar Rafdinal.

Sementara itu, politisi PKS Wasis Wiseso Pamungkas menyebutkan, Rasulullah pernah mengatakan bahwa tanpa kekuasaan, akan sulit menyampaikan risalah kenabian. Karena itu, menurutnya pemisahan agama dari urusan politik merupakan kemunduran bagi umat Islam di Indonesia.

Negara sejatinya memberi ruang bagi agama untuk masuk ranah politik. Indonesia memang bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler yang memisahan urusan agama dari negara, sebagaimana yang diterapkan pada model politik kekuasaan di negara-negara Barat.

Pengaruh budaya asing di era globalisasi, disamping membawa efek positif,  juga membawa efek negatif tersendiri, antara lain faham liberal yang kian marak, hegemoni kapitalis yang makin kuat, dan budaya sex bebas. Menurutnya, semua ini hanya bisa dihentikan dengan UU yang merupakan produk politik melalui mekanisme kepartaian.

Masih menurut Wasis, internalisasi nilai-nilai dan ajaran-ajaran dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara juga menghadapi problematika tersendiri. Menurut hasil survey di Sumut, sebagaimana dipaparkan oleh politisi PKS tersebut, umat Islam terbagi atas 3 kategori: Islam puritan, Islam sekuler moderat dan Islam sekuler ekstrem.  Dari kategori tersebut, sekitar 25% (Islam puritan) yang menghendaki tegaknya syariat Islam, antara 10 – 15% (Islam sekuler ekstrem) sangat anti tegaknya syariat Islam, dan ada sekitar 65% (Islam sekuler moderat) sikapnya abu-abu.

Kendati puritan, tetapi secara politik ada juga yang tergabung dalam partai yang sangat nasionalis-sekuler. Sebaliknya, golongan Islam sekuler ekstrim justru ada juga yang tergabung dalam partai Islam.

Kondisi ini menyiratkan apa? “Secara sederhana, ini memberikan sedikit gambaran bahwa potensi politik umat Islam ternyata sangat menyebar, sehingga terasa amat  sulit dipersatukan. Ini membawa kesulitan sendiri dalam proses internalisasi nilai-nilai dan ajaran-ajaran dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara,” paparnya.

Ustadz H. Azwir lbnu Aziz dalam pendapatnya memberi sedikit harapan menggembirakan. Menurut beliau, kondisi negara saat ini merupakan tanda-tanda segera akan datangnya pertolongan Allah Subhanahu wata’ala. Allah senantiasa menolong hamba-Nya saat dalam kondisi sulit.

Para nabi juga berpolitik. Setelah Rasulullah wafat, perjuangan politik diteruskan oleh para khalifah dengan sistem Khilafah, dengan berpegang kepada sunnah. Sebenarnya, dalam Islam itu sendiri ada hal dimana umat boleh berbeda pendapat dan ada yang tidak boleh berbeda.

Islam adalah agama yang sempurna, termasuk menyangkut urusan politik. Tidak dibenarkan mengakui adanya aturan lain yang lebih baik daripada aturan Islam,” jelasnya.

Dalam paparannya, Ustadz H. Muclish Syam, SH (Tokoh Islam senior dari komunitas Al Misbah) mengatakan bahwa syariat Islam saat ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan terkesan ditakuti. Buktinya, satu contoh adalah perayaan valentine day jalan terus. Akibatnya, banyak generasi Islam yang menikah di bawah tangan (setelah sebelumnya mengalami ‘kecelakaan’).

Karena itu, “Saya berharap, apapun partainya, perjuangkanlah penegakan syariat Islam. Saya titip perjuangan ini kepada politisi Islam lewat jalur partai maupun jalur DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Tolong besarkan perjuangan penerapan syariat Islam,” pesannya.

Perlu disadari bersama, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang mayoritas umat Islam (87%), terasa makin kehilangan makna karena kesenjangan sosial yang kian lebar dan dalam. Ini disebabkan diantaranya karena partai-partai Islam yang ada, belum mampu menjadi penyalur aspirasi umat Islam. Pada pemilu 2019, total perolehan kursi partai Islam hanya 29,7%. Ini merupakan kondisi ironis lainnya.

 

Fenomena Anti Politik Identitas

Kontroversi dan penolakan terhadap politik identitas kembali mengemuka dalam kontestasi Pemilu 2024 ini. Isu ini juga sempat disinggung dalam diskusi bertajuk Pemilu 2024 : Quo Vadis Politik Islam tersebut.

Secara sederhana, pengertian politik identitas merupakan politik yang hadir pada suatu masyarakat untuk memilih pilihan politiknya, berdasarkan dengan agama, aliran maupun ideologi yang dianut oleh masyarakat tersebut.

Semua orang terikat oleh faktor keturunan. Identitas adalah sesuatu yang melekat pada eksistensi manusia, peperti identitas etnisitas, suku bangsa, asal-asul daerahnya, dan juga identitas agama atau aliran keagamaan.

Identitas itu tumbuh paling awal di lingkungan terdekat, kemudian berkembang pada komunitas masyarakat, lalu berlanjut pada dunia pendidikan. Identitas tersebut membentuk suatu ikatan. Dengan demikian, politik identitas tidak mungkin hilang dari bumi Indonesia, sebab berpolitik juga perlu identitas.

Diakui maupun tidak diakui, politik identitas memiliki kekuatan sendiri pada lembaga politik. Massa yang telah dimiliki oleh suatu aliran, akan menjadi pendukung yang fanatik dari sebuah partai politik. Politik identitas dapat memberikan warna tersendiri dalam politik di Indonesia.

Haramkah politik identitas? Munculah gerakan politik berdasarkan ikatan agama, pada hakekatnya berfungsi untuk menjaga eksistensi  agama itu sendiri. Siapakah yang akan menjaga eksistensi agama di Indonesia, apabila tokoh agamanya tidak terlibat dalam politik. Jika orang beragama tidak terjun ke dalam politik, maka dunia politik akan diisi oleh mereka yang tidak beragama dan bahkan anti agama. Suatu hal yang justru berlawanan dengan negara yang berdasarkan Pancasila.[] (Bas/ii/2023).

Artikel ini telah dibaca 45 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Bincang Bersama Ketua Umum Partai UMMAT: Perlunya Kesadaran Ummat Bahwa Kita Sedang Bertarung

21 Juni 2023 - 23:35 WIB

Narasi Politik Identitas, Indikasi Islamophobia Telah Merambah Bidang Politik

29 Maret 2023 - 21:37 WIB

Kalau Ingin Perubahan, Pilihan Yang Tersedia Memang Anies Baswedan

29 Maret 2023 - 17:54 WIB

Berpengalaman Di Pemerintahan, Khofifah Digadang-Gadang Jadi Cawapres Anies

4 Februari 2023 - 11:23 WIB

Patut Dicontoh, Baca Quran Sebelum Paripurna DPRD

1 Oktober 2022 - 13:41 WIB

Shohibul Ansor: Saatnya Ormas Islam Buat Rekomendasi Pilihan Pemilu 2024

30 September 2022 - 06:56 WIB

Trending di Keumatan