Sekitar dua tahun yang lalu. Saya dan keluarga baru tiba di Jakarta. Kami menginap di Royal Mediterania. Namanya orang kampung. Orang udik. Sesekali mencoba menginap di Apartemen. Biar “ngga apa kali” kata orang Medan.
“Bun, ayah ke Central Park dulu. Ditunggu kawan-kawan” kata saya ke si Anggrek Bulan.
Saya kemudian menyeberang ke Mall Central Park. Di sebuah Cafe sudah menunggu beberapa kawan. Para Pejuang Medsos militan. Anti Rezim Pak Jokowi Garis Keras.
Setelah salam-salaman kami mengobrol. Seperti biasa. Meributkan keputusan Pak Prabowo yang bergabung ke rezim Pak Jokowi.
“Seharusnya berjuang sampai titik darah penghabisan. Revolusi. Reformasi jilid dua. Bila perlu perang. Bukan menyerah dengan ketidak adilan. Menyerah dengan kecurangan. Berjuang dari dalam itu cuma diksi orang lemah” kata seorang Sahabat dengan berapi-api.
Beliau memang tipe orang lapangan. Walaupun setahu saya lebih sering bermain dibelakang layar. Dalam arti yang sebenarnya. Karena beliau lumayan ahli dibidang IT. Jagoan Dunia Maya.
Saya sampaikan kalau saya juga sebelumnya berpikir sama dengan mereka. Tidak ada kompromi dengan kezaliman. Dicurangi lewat Demokrasi, ya sekalian Revolusi!
Namanya kondisi hati masih panas. Emosi belum stabil. Rasa marah. Rasa kecewa. Kemudian merasa dikhianati. Tiba-tiba kawan yang dipercaya berangkulan dengan kelompok yang saya anggap sebagi musuh. Kelompok yang saya anggap lebih jahat daripada Dajjal.
Ok. Anggapan saya belum berubah tentang Kelompok ini. Tetapi minimal saya kemudian menyadari. Ini bukan tentang saya. Bukan juga tentang mereka. Kelompok Dajjal itu. Tetapi ini tentang kita semua.
Revolusi atau apapun namanya pengambil-alihan Kekuasaan diluar jalan Konstitusi akan mengorbankan rakyat kecil. Selagi masih bisa berjuang lewat Jalur Konstitusi, lewat jalur damai, dahulukan.
“Kalau begitu Indonesia tidak akan pernah Merdeka kalau pemikirannya seperti dirimu bro” sela kawan yang lain.
Maafkan saya yang berbeda pendapat. Sangat berbeda kondisi kita sekarang dengan kondisi jaman Penjajahan. Tidak bisa sisamakan.
Benar. Kita masih “dijajah”. Tetapi di jaman Penjajahan Belanda atau Jepang, misalnya, kita dijajah dalam arti fisik dan kedaulatan.
Penjajahnya orang asing. Tanah kita diduduki dan dikuasai.
Sedangkan sekarang kita dijajah dalam tanda kutip. Karena Penjajahnya adalah bangsa kita sendiri. Bahkan kita yang memilih. Syukurkan setiap rezim kita batasi lima tahun sekali dan paling lama cuma dua periode.
Artinya kita punya kesempatan secara damai untuk mengganti setiap rezim yang kita anggap tidak sesuai. Lewat jalur Konstitusi. Bersabar lima tahun. Daripada semua rakyat menanggung penderitaan yang cukup panjang.
Setiap peralihan kekuasaan dengan kekerasan akan menyebabkan pondasi ekonomi kita runtuh. Dan mengembalikannya butuh waktu puluhan tahun.
Sampai sekarang kita masih menanggung keterpurukan akibat Reformasi. Nilai mata uang rupiah yang semakin tidak berarti.
Saya berpikir. Seandainya peralihan kekuasaan dengan damai. Reformasi tidak pakai bakar-bakar Jakarta. Tidak pakai “perang”. Tidak ada yang harus kabur menyelamatkan diri ke luar negeri. Bahkan kalaupun terpaksa Pak Harto tetap berkuasa. Mungkin kerusakan Pondasi Ekonomi negara kita tidak separah seperti sekarang.
Kita terlalu mendewa-dewakan reformasi. Padahal hasilnya sama saja. Bahkan menurut saya lebih parah. Kebebasan berpendapat yang kita perjuangkan akhirnya dikebiri juga. Oligarki tetap berkuasa.
Jadi mari lupakan revolusi. Seburuk-buruknya rezim Pak Jokowi tetapi beliau adalah pilihan sebagian dari kita. Biarkan lah beliau menyelesaikan masa jabatannya. Nikmati saja kekacauan ekonomi sekarang. Toh yang menderita bukan cuma kita. Semua pendukung garis keras Pak Jokowi juga merasakan hal yang sama.
Banyak Pendukung Pak Jokowi yang menyesal. Tetapi karena kita sudutkan, mereka tetap kompak membela. Andai kita diam, kemungkinan mereka sendiri yang akan “menyerang” Pak Jokowi. Misalnya Akun Partai Socmed di Twitter.
Jadi mari kita diam menonton. Sambil fokus memperjuangkan dan memperbaiki ekonomi masing-masing.
Lupakan Revolusi. Karena setiap terjadi pergolakan dan kerusakan tatanan ekonomi, maka korban pertama selalu rakyat jelata.
Misalnya berita dibawah, para Wanita Sri Lanka yang harus membarter tubuhnya dengan makanan…[]