Tangsel-MisbahNEWS.com. Teringat tulisan Tony Rosyid sekitar tahun 2018. Pengamat politik ini menulis beberapa kali dalam artikelnya tentang Prabowo. Tony menjelaskan pilihan paling rasional bagi Prabowo saat pemilu 2019 adalah menjadi King Maker. Tony Rosyid mengungkapkan secara cermat berbagai variabel dengan analisis tajam mengapa Prabowo tidak perlu maju di pilpres 2019 itu. Tony Rosyid sedemikian yakinnya kalau Prabowo akan kalah melawan Jokowi. Dan analisis Tony Rosyid terbukti. Di pemilu 2019 Prabowo kalah.
Seandainya Prabowo membaca tulisan Tony Rosyid saat itu dan bisa mempertimbangkannya, mungkin mantan Danjen Kopassus ini tidak perlu menelan kekalahan untuk kesekian kalinya dalam pemilu.
Kalah menang itu bukan soal integritas dan kompetensi. Prabowo boleh jadi punya dua hal itu. Bahkan dibanding Jokowi, Prabowo lebih senior dan berpengalaman. Apalagi jika Prabowo sedang berbicara berbahasa inggris, secara kontens jauh lebih berbobot, pikirannya lebih jernih dan sistematis. Tapi, menang kalah itu bukan soal kefasihan dalam berbahasa inggris dan kemampuan mengungkapkan gagasan yang visioner, tapi soal elektabilitas. Menang kalah itu soal bagaimana merebut hati rakyat. Prabowo lemah di sisi ini.
Pemilu 2024, Prabowo sudah tidak muda lagi. Di tahun 2024, usia Prabowo 73 tahun. Sementara pemilih milenial (usia 17-37 tahun) jumlahnya semakin besar. Diperkirakan kisaran 40 persen. Ini tidak menguntungkan secara elektoral bagi kaum tua seperti Prabowo. Belum lagi luka para pendukung Prabowo yang merasa dikhianati setelah mantan menantu Soeharto ini bergabung di kebinet Jokowi. Ini bisa diukur dari elektabilitas Prabowo saat ini. Turun jauh dari tahun 2019.
Sebagai kandidat lama, dua kali nyapres dan sekali nyawapres, elektabilitas Prabowo tersaingi oleh Anies Rasyid Baswedan dan Ganjar Pranowo. Ini sebenarnya warning bahwa jika kedua tokoh muda tersebut nyalon, Prabowo akan kalah.
Sudah tidak waktunya lagi Prabowo nyapres. Elektabilitasnya stagnan dan tidak mudah dinaikkan. Tidak ada variable atau sesuatu yang bisa dijadikan pijakan mendasar untuk naikkan elektabilitas Prabowo.
Majunya Prabowo hanya didorong untuk menjaga elektabilitas partai Gerindra. Tidak lebih dari itu. Ada kesan Prabowo dimartirkan. Ada kesan semacam ditumbalkan. Prabowo nyalon hanya untuk kalah. Sebuah kekalahan untuk yang kesekian kali. Ini yang harus diwaspadai oleh Prabowo, juga oleh orang-orang di sekitar Prabowo yang masih mau obyektif.
Kalau Prabowo lawan Puan Maharani, peluang untuk menang ada, dan bahkan cukup besar. Tapi kalau Anies Rasyid Baswedan atau Ganjar Pranowo maju, sulit bagi Prabowo menang.
Saat ini, tidak ada partai yang mau merapat ke Prabowo kecuali PKB. Itupun ada dua syarat yaitu Prabowo harus menyiapkan logistiknya, dan Gus Muhaimin Iskandar jadi cawapresnya. Untuk yang pertama yaitu logistik, mungkin Prabowo bisa sanggupin. Paling kisaran 1 triliun sebagai mahar. Tapi untuk syarat yang kedua yaitu Gus Muhaimin jadi cawapres, bagi Prabowo sulit untuk diprnuhi. Pasangan Prabowo-Gus Muhaimin tidak menjual.
Di lain sisi, belum ada tanda-tanda partai lain bersedia merapat dan mengusung Prabowo. Ini harusnya dibaca oleh para politisi di lingkaran Prabowo bahwa sudah tidak mudah lagi menjual nama Prabowo.
Kalau tujuannya untuk menjaga elektabilitas Partai, Prabowo bisa jadi King Maker. Selama musim kampanye, Prabowo bisa aktif ikut keliling dan berkampanye untuk memenangkan calonnya. Masyarakat akan berempati dan simpati pada Prabowo. Masyarakat tahu bahwa Prabowo adalah icon Gerindra. Suara Gerindra akan tetap bisa dipertahankan.
Dibanding maju sendiri sebagai capres untuk ketiga kalinya, menjadi King Maker akan jauh lebih rasional dan realistis bagi Prabowo.
Ketika pemilu 2024 nanti Anies Rasyid Baswedan atau Ganjar Pranowo maju sebagai calon, sebaiknya memang Prabowo tidak ikut nyalon. Pilihan King Maker lebih tepat. Tapi, jika saingan Prabowo itu hanya Puan Maharani dan Airlangga Hartarto, Prabowo go to ahead. Maju, dan besar kemungkinan akan menang.
Sumber : HAJINEWS.com