Oleh : Tim Aktivis Dakwah Al-Misbah
MisbahNEWS, Medan – Khilafah adalah sebuah gerakan keagamaan yang mengusung konsep tentang kenegaraan yang berdasarkan syariat Islam, pemimpinnya disebut Khalifah. Konsep tersebut menghendaki seluruh dunia Islam disatukan ke dalam satu sistem pemerintahan tunggal, sebuah kekhalifahan. Sistem khilafah diklaim bukan sistem demokrasi, melainkan menerapkan sistem Ahlul Halli wal Aqdli.
Terdapat pro-kontra terhadap isu khilafah ini. Dalam pendapat yang paling ekstrim, seorang Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Prof Dr M Atho Mudzhar mengatakan, konsep Khilafah bertentangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Para pendukung konsep Khilafah tersebut cenderung bersifat puritan, merasa benar sendiri dan menyalahkan orang lain, sehingga berpotensi mengganggu dan bahkan merusak kerukunan antarasesama warga bangsa,” demikian katanya dalam pada seminar nasional bertajuk Aliran-aliran Islam Kontemporer dan Implikasinya bagi Harmonisasi Sosial dan NKRI di gedung SPs UIN Jakarta, Selasa (25/10/2022) lalu.
Salah satu peristiwa terbaru yang menghentak adalah berita konvoi pengampanyean kebangkitan khilafah di Jakarta dan di sejumlah daerah lainnya, yang dilakukan Khilafatul Muslimin. Kini pimpinannya, Abdul Qadir Baraja, sudah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Ia terancam hukuman 20 tahun penjara karena tindakannya dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Di antara bunyi poster yang dibawa oleh mereka yang ikut konvoi itu: ”Jadilah Pelopor Penegak Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah (Sesuai Sistem Nabi)” dan ”Khilafah itu Ibadah, Khilafah itu Miliknya Umat Islam”.
Dalam Pengajian Rutin Malam Sabtu sekaligus Halal bihalal Komunitas Gerakan Pemikiran Islam POLITIKA ISLAM pada Jum’at malam (28/4/2023) lalu, tema ini menjadi salah satu topik pembahasan menarik. Muncul pertanyaan besar: Jika dikaji secara akademik, apakah NKRI dengan Pancasila-nya bertentangan dengan khilafah sehingga harus diganti? Selanjutnya, haruskah menunggu berdirinya sebuah khilafah untuk dapat menjalankan Syariat Islam dalam tataran bernegara?
Jawabannya tentu beragam. Ada yang berpendapat, NKRI dengan Pancasila-nya merupakan khilafah bentuk baru, sebagai hasil ijtihad para pendiri bangsa yang sesuai ajaran Islam. Secara substansi, NKRI sudah sesuai dengan khilafah, sehingga tidak perlu saling dipertentangkan. Intinya, bentuk dan sistem pemerintahan merupakan ranah ijtihad.
Pendapat selanjutnya, untuk menegakkan syari’at tidak harus menunggu terbentuk khilafah terlebih dahulu. Jika syari’at Islam bisa diidentikkan dengan fiqih, seorang aktivis Islam pernah menjabarkan fakta menarik berikut.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia, penerapan syari’at Islam dalam masyarakat terbagi atas 3 kategori. Pertama, syari’at Islam yang dapat diterapkan dalam masyarakat tanpa memerlukan keterlibatan negara/khilafah. Kategori ini meliputi sekitar 61% dari seluruh syari’at Islam. Kedua, syari’at Islam yang tidak dapat diterapkan dalam masyarakat, karena memerlukan keterlibatan negara/khilafah, meliputi sekitar 21%. Ketiga, syari’at Islam yang belum jelas penerapannya, apakah memerlukan keterlibatan negara/khilafah atau tidak. Jumlahnya mencapai sekitar 18% dari seluruh syari’at Islam.
Menilik angka-angka di atas, syari’at Islam kategori-1 (sebanyak 61%) selama ini penerapannya dalam masyarakat belum dilaksanakan secara kaffah (menyeluruh dan sempurna/sesuai sunnah). Seharusnya penerapan syari’at Islam secara mandiri oleh masyarakat menjadi prioritas dakwah umat bagi Islam, ketimbang mengejar kategori-2 (sebanyak 21%).
Mengapa demikian? Karena syari’at Islam kategori-1 (61%) sangat mungkin untuk diterapkan di Indonesia, tanpa mensyaratkan adanya khilafah. Sedangkan untuk penerapan syari’at Islam kategori-2 yang memerlukan negara/khilafah (meliputi : Hudud, Qishash, Diyat, Ta’zir, Jihad, Jizyah, dan Peradilan), saat ini jelas belum memungkinkan, karena adanya hambatan eksternal dari pihak tertentu, disamping umat Islam sendiri yang belum siap secara politis.
Poinnya, buat apa mengejar yang 21% dengan mengabaikan yang 61%? Ini menjadi kajian menarik untuk ditelaah lebih lanjut, terutama oleh para tokoh Islam yang concern (peduli) dengan penegakan syari’at Islam.
Fakta menarik lainnya terungkap dalam suatu ceramah oleh seorang Ustadz dalam sebuah kanal Youtube. Di Indonesia sudah ada peradilan agama, akan tetapi kekurangan produk undang-undang untuk menjalankan peradilan agama tersebut.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009, dalam Pasal 2 menegaskan bahwa peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang.
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Ironisnya, umat Islam belum memiliki undang-undang yang khusus untuk mengurusi perkara-perkara tersebut.
Dalam masalah hukum waris Islam misalnya, belum ada undang-undang yang khusus mengurusi masalah waris ini. Jika timbul perkara pembagian warisan dalam sebuah keluarga dan ingin diselesaikan sesuai syari’at Islam, peradilan agama tidak bisa memutuskannya karena undang-undangnya tidak (belum) ada. Selama ini, peradilan agama hanya menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam berperkara di pengadilan.
Hukum waris Islam memiliki karakteristik yang unik sebagai bagian dari syari’ah Islam, yang pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari aqidah (keimanan). Seseorang akan mendapatkan atau tidak mendapatkan harta waris, harus sesuai dengan yang telah ditentukan Allah, di luar keinginan atau kehendak selera masing-masing. Apakah kompilasi hukum Islam sudah mengakomodir sepenuhnya masalah mawaris ini? Ternyata, banyak yang tidak sinkron (selaras).
Ada sebuah analisa menarik dengan contoh kasus spesifiknya, misalnya begini. Berdasarkan Ijma (kesepakatan para ulama), ada 3 syarat waris, yaitu: Orang yang akan mewaris benar-benar sudah meninggal; Ahli waris benar-benar masih hidup; Tidak ada penghalang sebagai ahli waris.
Terkait dengan syarat nomor 2 di atas, terdapat perbedaan pengaturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di dalam Pasal 185 KHI, disebutkan adanya hak dari Ahli Waris Pengganti apabila ahli waris asal sudah meninggal lebih dulu daripada pewaris.
Sementara itu, Waris Islam tidak mengenal adanya ahli waris pengganti. Apabila seorang pewaris meninggal dunia, maka bagian kepada ahli waris yang sudah meninggal tadi beralih kepada ahli waris lainnya, mengingat waris hanya berlaku kepada orang yang masih hidup.
“Ini sebetulnya sebuah peluang besar bagi para tokoh dan intelektual Islam untuk mengisi kekosongan hukum ini. Juga bagi anda yang selama ini mengusung khilafah untuk bisa menjalankan syari’at Islam, ini adalah kesempatan besar bagi anda untuk mewujudkannya. Anda tidak perlu bersusah-susah mendirikan khilafah, pemerintah sudah memberikan peluang bagi anda buat menjalankan syari’at Islam dengan adanya peradilan agama ini. Dapatkah anda memanfaatkannya?” demikian paparan Ustadz tersebut dalam ceramahnya.
Tantangan ini tentu sangat menarik. Ini menjadi batu ujian bagi anda yang mengaku tokoh Islam dan intelektual muslim, apakah anda sudah layak diserahi amanah untuk mengatur urusan umat. Ini sekaligus menjawab sindiran: umat Islam ini bisanya cuma ribut. Mengurus dirinya sendiri saja tidak sanggup, bagaimana mau mengurus negara. Bagaimana menurut pendapat anda?[] (Bas/iv/2023).