Dr. H. Ardiansyah, Lc., MA
Wakil Ketua Umum MUI Sumatera Utara
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara
A. Mukaddimah
Relasi umat beragama di tanah air memiliki keunggulan tersendiri yang tidak ditemukan dimanapun yaitu kerukunan dan harmoni sekalipun beragam suku, ras, budaya dan agama. Hal ini dapat dilihat dari relasi yang baik antara Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia dengan total 86,9% jumlah penduduk. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa peran umat Islam lah yang terbesar dalam merawat kebhinnekaan di tanah air. Mengayomi dan bersikap moderat menjadi cerminan gaya pemimpin di tanah air sejak hari pertama diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Piagam Jakarta menjadi saksi akan sikap tasâmuh (toleran) umat Islam sekaligus menjadi modal utama yang tidak terbantahkan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, menjadi ambigu ketika muncul tudingan bahwa umat Islam tidak toleran dan mengajarkan kekerasan. Hal ini terbantahkan dengan sendirinya bahwa harmoni yang terawat dengan baik diantara anak bangsa yang hidup rukun dan damai hingga usia kemerdekaan telah menacapai 77 tahun pada tahun ini.
Dalam merawat kerukunan umat beragama di tanah air menghadapi nbanyak tantangan sehingga membutuhkan berbagai cara dan uapaya. Belakangan ini, sejak era reformasi, muncul pro-kontra mengenai salam lintas agama. Yaitu ucapan salam pembuka yang khas dari enam agama yang diakui di tanah air. ‘Salam khas’ tersebut diucapkan ketika seorang pejabat akan mengawali pidato atau kata sambutan dalam suatu pertemuan acara. Ucapan salam ini, menimbulkan polemik di masyarakat, sehingga ada yang melarang dan adapula yang membolehkannya. Makalah sederhana ini akan mencoba untuk mendeskripsikan pro-kontra tersebut sebagai bahan diskusi dalam muzakaran ini. Semoga bermanfaat.
B. Salam; pengertian dan prakteknya
Kata Salâm (السَّلَام) berasal dari bahasa Arab yang berarti keselamatan dan kesejahteran. Sebagaimana firman Allah SWT: سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ artianya: “(Kepada mereka dikatakan), “Salâm,” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.” (QS. Yâsîn [36]: 58). Yaitu ucapan penghormatan dan keselamatan dari Allah SWT kepada penghuni surga.
Nabi Muhammad SAW sangat mengajurkan umatnya untuk saling mengucapkan salam antar sesama muslim, sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ﴿لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ﴾ (رَوَاهُ مُسْلِم وَالتِّرْمِذِي وَأَبُو دَوُد وَابْنُ مَاجَه)
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu, jika dilaksanakan maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim, at-Tirmidzî, Abu Daud dan Ibnu Mâjah)
Demikian penting memberi salam, sehingga menjawab salam adalah kewajiban. Nabi Muhammad SAW memberikan bimbingan kepada umatnya agar menjadi agen perdamaian dengan menyebarkan salam. Bahkan, mengucapkan salam dianjurkan kepada saudara kita, baik yang kita kenal ataupun tidak agar merupakan sebab keselamatan bagi umat ini. Memberi salam dan menjawabnya merupakan sikap saling menghormati yang menjadi identitas kaum beriman. Hal ini dianjurkan untuk memperkokoh ukhuwah imaniyah dan mencairkan kebekuan hubungan antara sesama muslim. Selain itu, menyebarkan salam juga dapat mengantarkan kepada terwujudnya tatanan masyarakat yang Islami dengan saling mendoakan dalam keselamatan dan kesejahteraan.
Dalam praktek memberikan salam, Rasululah SAW telah membimbing umatnya sekaligus menetapkan sebagai hak sesama muslim, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ﴿حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ﴾ (رَوَاهُ مُسْلِم)
Artinya: “Dan dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw bersabda: Hak seorang muslim terhadap muslim yang lainnya ada enam. Ditanyakan kepada beliau: apa saja itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Jika kamu bertemu maka ucapkanlah salam kepadanya, jika dia mengundangmu penuhilah undangannya, jika dia meminta nasehat kepadamu nasehatilah ia, jika dia bersin dan mengucapkan alhamdulillâh maka ucapkan yarhamukallâh, jika dia sakit jenguklah dia, jika dia meninggal maka iringilah jenazahnya” (HR. Muslim)
Adapun tatacara memberi salam dan menjawabnya sesama muslim telah pula dicontohkan Nabi SAW sebagai berikut:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “السَّلَامُ عَلَيْكُمْ” فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ، ثُمَّ جَلَسَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرٌ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: “السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ” فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ. فَقَالَ عِشْرُونَ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: “السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ” فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ ثَلَاثُونَ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَ التِّرْمِذِي)
Artinya; Dari Imran bin Hushain berkata: “Seseorang mendatangi Nabi SAW, kemudian mengucapkan, “Assalâmu’alaikum”, maka Nabi SAW menjawab salam tersebut, setelah itu orang tersebut duduk, dan Nabi SAW berkata, “Sepuluh”. Kemudian datang orang kedua mengucapkan, “Assalâmu’alaikum wa rahmatullâh”, maka Nabi SAW menjawab salam tersebut, orang tersebut duduk, dan Nabi SAW berkata, “Dua puluh”. Kemudian datang yang ketiga mengucapkan, “Assalâmu’alaikum wa rahmatullâh wa barakâtuh”, maka Nabi SAW menjawab salam tersebut, orang tersebut duduk, dan Nabi SAW berkata, “Tiga puluh”. (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzî)
Sedangkan menjawab salam yang disampaikan orang kafir (non muslim) kepada umat Islam juga telah diajarkan nabi SAW. Sebagaimana jawaban beliau kepada para sahabat yang mempertanyakan khusus tentang hal tersebut, berikut hadis yang dimaksud:
أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يُسَلِّمُونَ عَلَيْنَا فَكَيْفَ نَرُدُّ عَلَيْهِمْ قَالَ: “قُولُوا وَعَلَيْكُمْ” (رَوَاه مُسْلم)
Artinya: “Bahwasanya para sahabat Nabi SAW bertanya kepada Beliau, sesungguhnya Ahli Kitab memberi salam kepada kami, bagaimana kami menjawabnya? Jawab Beliau: Ucapkan: “Wa’alaikum”. (HR. Muslim)
Demikianlah sebagian adab memberi dan menjawab salam yang diatur dalam Islam baik sesama muslim maupun kepada non muslim. Namun perkembangan sejak era reformasi, terdapat ucapan salam lintas agama yang diucapkan para pejabat ketika mengawali pidato atau kata sambutannya. Hal ini menjadi polemik yang menarik untuk dibahas berikut ini.
C. Salam Lintas Agama, Harmoni atas nama Basa Basi?
Kebiasaan para pejabat Muslim dalam mengucap salam pembuka semua agama di acara resmi telah menimbulkan polemik dan pro-kontra. Hal ini menjadi pembahasan dalam Rapat Kerja Nasional V (Rakernas) Majelis Ulama Indonesia yang dilaksanakan di Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat pada 11-13 Oktober 2019 yang lalu. Menindaklanjuti hasil Rakernas tersebut, MUI Provinsi Jawa Timur mengeluarkan taushiyah atau imbauan dan seruan dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 agar tidak melakukan salam lintas agama, karena dinilai syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya. Salam dimaksud adalah ucapan salam yang berasal dari berbagai agama, seperti salam sejahtera bagi kita semua (Kristen), Shalom (Katolik), Om Swastiastu (Hindu), Namo Buddhaya (Buddha) dan Salam Kebajikan (Konghucu), setelah ucapan assalâmu’alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh.
Paling tidak terdapat dua pandangan mainstream (utama) dalam menyikapi polemik seputar masalah salam lintas agama ini. Sebagian membolehkan dan sebagian melarang dengan dalilnya masing-masing. Namun sebelum masuk lebih jauh dalam perdebatan tersebut, maka perlu dicatat bahwa ucapan salam merupakan identitas dari masing-masing ajaran agama. Oleh karena itu, masing-masing pemeluk agama memiliki ucapan salam khusus yang diajarkan dalam agamanya. Selain sebagai identitas, ucapan salam mengandung makna doa. Dalam hadis nabi SAW ditegaskan bahwa doa adalah ibadah bahkan intinya (otaknya), sebagaimana sabda beliau:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ (رَوَاهُ التِّرْمِذِي)
Artinya: dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda: Doa adalah otaknya ibadah (HR. at-Tirmidzî)
Sejak era reformasi, banyak hal berubah di tanah air. Bukan hanya tatanan politik, akan tetapi merambat ke tatanan kehidupan sosial. Persoalan relasi antar umat beragama menjadi perhatian serius dalam upaya merawat keutuhan NKRI. Persoalannya, bagaimana menengahi ‘ketegangan’ antara keinginan untuk setia pada ajaran agama masing-masing dengan keinginan untuk ramah terhadap pemeluk agama lain dalam hidup bernegara. Inilah sebenaranya yang ingin dijembatani melalui salam lintas agama yang dinilai mengandung syubhat itu.
Menurut pandangan yang membolehkan salam lintas agama berdasarkan kepada pemahaman bahwa salam adalah penghormatan sekaligus doa keselamatan dan kebaikan. Islam agama kedamaian, dan menganjurkan umatnya untuk menebar kedamaian kepada siapa pun, muslim dan non-muslim. Hubungan dengan non muslim dibangun di atas prinsip kebaikan dan keadilan. Tidak ada larangan berlaku baik dan adil terhadap mereka yang tidak memerangi dan memusuhi. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Al-Mumtahanah [60]: 8) berikut ini:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8)
Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Selain itu, pandangan ini juga merujuk kepada hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dari Usâmah bin Zaid ra. dalam judul bab: بَاب التَّسْلِيمِ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ (bab memberi salam kepada suatu majelis yang terdiri dari kaum muslim dan musyrik). Dalam hadis ini Nabi SAW menyampaikan ucapan salam kepada majelis yang bercampur di dalamnya antara kaum muslim dan musyrik. Berikut hadis yang dimaksud:
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ… مَرَّ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَالْيَهُودِ وَفِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ وَفِي الْمَجْلِسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ…فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ وَقَفَ فَنَزَلَ فَدَعَاهُمْ إِلَى اللَّهِ وَقَرَأَ عَلَيْهِمْ الْقُرْآنَ…” (رَوَاهُ البُخَارِي)
Artinya: dari Usâmah bin Zaid ra. bahwasanya Rasulullah SAW melintasi suatu majelis yang bercampur di dalamnya kaum muslim dan musyrik penyembah berhala dan yahudi. Diantara mereka terdapat Abdullah bin Ubai bin Salul dan di dalam majelis itu juga terdapat Abdullah bin Rawahah. Nabi SAW mengucapkan salam kepada mereka. Kemudian beliau berhenti dan turun dari kendaraannya, maka beliau mengajak mereka untuk beriman kepada Allah serta membacakan al-Qur’ân kepada mereka…” (HR. al-Bukhâri)
Berdasarkan ayat al-Qur’an dan hadis diatas kelompok ini berpendapat bahwa mengucapkan salam terlebih dahulu kepada non muslim boleh dan tidak dilarang. Hal ini merupakan upaya untuk menyebarkan kedamaian dan kerukunan di tengah-tengah masyarakat. Dengan pendekatan sosiologis, kita akan mudah menemukan jalan tengah. Dalam bersosial, terkadang harus ada mujâmalah (basa-basi) antara komponen masyarakat yang majemuk. Selain saling mendoakan dan menebar damai, salam lintas agama yang diucap pejabat (kemungkinan) hanyalah sebuah tegur sapa dan bentuk penghormatan kepada semua pemeluk agama sebagai sesama warga bangsa yang telah berkoitmen untuk hidup rukun bersama. Tidak sampai pada masalah keyakinan. Terlalu jauh bila dimaknai sebagai pengakuan dan permohonan doa kepada tuhan selain Allah yang menyalahi akidah. Sama halnya dengan ucapan selamat natal yang biasa diucap saat perayaan natal. Banyak ulama kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi, Nasr Farid Washil dan Ali Jum’ah, keduanya mantan Mufti Mesir, membolehkan ucapan selamat natal sebagai bentuk mujâmalah dan bagian dari ‘berlaku baik dan adil’ yang tidak terlarang dalam QS. Al-Mumtahanah: 8.
Adapun menurut pendapat yang melarang untuk mengucapkan salam lintas agama karena dikahwatirkan akan terjerumus ke dalam perkara bid’ah (mengada-ada dalam urusan agama), syubhat dan mencampur adukkan ajaran agama. Sebab, dalam Islam tidak ada paksanaan dalam agama, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Selain itu, secara prinsip larangan mencampur adukkan ajaran agama sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kâfirûn [109]: 6).
Masih menurut padangan kelompok ini, bahwa mengucapkan salam adalah bagian dari doa, dan doa adalah ibadah bahkan intinya ibadah. Oleh karena itu, pengucapan salam pembuka menurut Islam bukanlah sekedar basa-basi tetapi mengandung makna doa. Selain itu, Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid’ah yang tidak pernah ada di masa yang lalu, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari.
Pendapat kedua ini lebih tepat untuk dipedomani dengan merujuk kepada beberapa alasan berikut ini:
1. Bahwa dalam membangun harmoni dan kerukunan yang dibutuhkan adalah pemahaman dan pengamalan ajaran agama dengan baik dan benar dari masing-masing pemeluknya. Masing-masing pemeluk agama berhak atas klaim kebenaran agamanya, tanpa menafikan eksistensi agama lain. Setiap pemeluk agama wajib setia pada kebenaran tunggal yang diyakininya.
2. Salam pembuka merupakan identitas dan kekhasan dari masing-masing ajaran agama, sehingga patut dikhawatirkan dengan mengucapkan salam lintas agama seseorang telah terjebak dalam mencampur adukkan ajaran agama itu sendiri. Apalagi jika hal itu dilakukan hanya sekedar basa-basi (mujâmalah) dalam tegur sapa. Sebab, dalam menciptakan harmoni dan kerukunan antar umat beragama yang dibutuhkan adalah komitmen untuk saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah kebhinnekaan bukan dengan basa-basi.
3. Hampir tidak pernah dijumpai salam pembuka pada pidato atau sambutan resmi dengan cara salam lintas agama seperti yang di praktekkan di tanah air di tempat lain. Bahkan salam lintas agama ini pun baru dikenal sejak era reformasi, sedangkan sebelumnya tidak dikenali. Menjadi pertanyaan, apakah dengan salam lintas agama ini, harmoni dan kerukunan di tanah air akan lebih baik dan kokoh? Waktulah yang akan menjawabnya.
D. Penutup
Ajaran agama adalah kehendak Tuhan, sedangkan pengamalannya dipulangkan kepada ‘kehendak manusia’ itu sendiri. Namun, setiap jiwa akan mempertanggung-jawabkan perbuatannya sekecil apapun. Menghormati dan tidak mencaci ajaran atau tuhan agama lain adalah perintah al-Qur’ân demi merawat kerukunan dan harmoni di tengah-tengah umat beragama. Allah SWT berfirman: “وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ” artinya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-An‘âm [6]: 108 ). Ayat ini menjadi landasan penting dalam merawat relasi antar umat beragama. Sekali lagi bukan dengan basa-basi (mujâmalah), yang hanya manis di bibir lain di hati. Akan tetapi, dengan membangun komitmen kebangsaan dan pemahaman agama yang benar. Karena itu, setiap anak bangsa di negeri ini memiliki kewajiban yang sama dalam merawat kerukunan demi harmoni yang indah dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
(Disampaikan pada Muzakarah MUI Sumut, Ahad 25 September 2022)