Dr. Ir. H. Masri Sitanggang, MP
Ini fenomena menarik dan baru dalam perpolitikan di tanah air. Soalnya, Anies Baswedan bukan kader partai mana pun. Ia bahkan gencar dicitrakan sebagai orang buruk lagi gagal. Sejak tampil melawan Ahok di pilkada DKI, jagad maya tidak pernah sepi barang sehari dari cerita yang memojokkannya.
Bagaimana pula kalau nanti Anies dipasangkan dengan orang yang dekat dengan rejim saat ini ?
Setidaknya, sejak pertengahan tahun 2022, setiap Anies baswedan melakukan aktivitas menghadiri perhelatan, selalu saja disambut kerumunan massa yang antusias. Hebatnya,massa tidak henti-henti meneriakkan yel-yel “Anies presiden”. Aroma “kampanye” sudah terasa pekat. Padahal, pilpres 2024 masih lama dan bakal calon defenitif yang diusung partai atau gabungan partai politik pun belum ada. Ini betul-betul fenomena menarik yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Demam Anies, mengakibatkan tenggelamnya nama-nama lain yang telah lebih awal digadang-gadang sebagai calon presiden oleh beberapa partai. Sebutlah, misalnya, ganjar pranowo atau puan maharani dari PDI-P, Erick Thohir, Airlangga dari Golkar dan Prabowo Subianto dari Gerindra. Padahal lagi, mereka suda lebih dahulu menebar baliho di seantero tanah air.
Anies bukanlah kader partai apa pun. Jadi, tidak punya jaringan struktural yang bisa digerakkan untuk memobilisasi massa dan membangun opini membuat khalayak demam. Anies juga bukan seorang pengusaha yang mampu mengandalkan uang untuk ciptakan kondisi itu. Rasa-rasanya, sulit pula memercayai kalau anies dibiayai oleh para oligarki ekonomi. Soalnya, anies telah meruntuhkan ambisi oligarki dengan menghentikan proyek-proyek pulau reklamasi di dki dan menutup berbagai usaha maksiat yang menjadi sumber pendapatan mereka. Normalnya, Anies adalah “musuh” para oligarki.
Lain dari itu, sekelompok buzzer dan beberapa politisi partai tertentu, terus gencar mem-framing, meyebarkan berita tentang anies dari sisi yang memojokkan. Seolah tidak ada yang baik dari Anies selama memimpin jakarta.
Puluhan penghargaan dari berbagai lembaga dalam dan luar negeri yang diterima Anies berkaitan dengan kerjanya memimpin Jakarta, tidak dinilai apa-apa oleh para buzzer dan partai-partai tertentu itu. Anis tetap saja disiarkan sebagai tidak punya prestasi dan bahkan dicitrakan sebagi orang gagal dan oleh karena itu pernah “dipecat” oleh Jokowi dari menteri pendidikan.
Hubungan baiknya dengan para pemuka dan lembaga agama di luar islam, dan pujian terhadap anies yang memerlakukan mereka sama dengan penganut agama mayoritas, bagi para buzzer dan politisi partai partai itu tadi, tidak punya nilai. Malah Anies terus dicitrakan sebagai pemimpin “politik identitas”, sebuah istilah yang tidak jelas apa artinya, namun dicoba dilumuri dengan makna negatif. Anies diberi julukan bernada melecehkan, seperti kadrun alias kadal gurun. Sebuah julukan yang diagunakan orang-orang komunis untuk tokoh-tokoh islam di masa-masa komunis berjaya di indonesia waktu dulu. Singkatnya, Anies dicitrakan sebagai yang tidak layak dipersilahkan menuju kursi presiden.
Maka, fenomena banjir dukungan terhadap Anies menjadi menarik sekaligus aneh. Kok bisa ?
Di dunia politik, dukungan seseorang terhadap calon pemimpin bisa disebabkan berbagai alasan, dari yang sangat sepele sampai pada yang sangat serius; dan itu sah-sah saja. Hak setiap orang untuk menentukan pilhannya atas pertimbangannya sendiri
Masalah sepele, misalnya, wajah dan postur tubuh, gaya bertutur dan penampilan. Pertemanan dan pertautan darah atau pertautan daerah dan semacamnya.
Hal-hal serius sampai sangat serius, misalnya, berkaitan dengan populeritas, kapasitas, rekam jejak dalam banyak aspek serta visi dan misi. Di dalam rekam jejak serta visi dan misi, terkandung pula gambaran muatan ideologis atau nilai yang dianut untuk diperjuangkan si calon.
Baik itu hal-hal sepele maupun yang serius dan sangat serius, yang melekat pada diri seoarang calon, sesungguhnya adalah identitas si calon. Oleh karena itulah, ajakan untuk tidak menggunakan politik identitas, menjadi tidak bermakna. Orang yang anti politik identitas, dengan begitu, adalah bodoh atau, kalau tidak, ingin membodohi.
_pada level pemilih yang lebih “tinggi”, _
Orang-orang cerdas berpikiran maju, menentukan pilihannya dengan mempertimbangkan identitas si calon yang tergambar pada visi dan misi serta rekam jejaknya dalam banyak hal. Artinya, orang-orang cerdas pasti memilih calon yang memilki identitas nilai ideologis yang jelas.
Jadi, orang yang menolak identitas nilai ideologis si calon, sesungguhnya adalah orang yang memiliki identitas nilai berseberangan dengan si calon. Kalau nilai ideologis yang dianut dan dibawa oleh si calon bersumber dari nilai-nilai agama, sehingga yang dimaksud politik identitas adalah politik bernilai agama, maka mereka yang anti politik identitas adalah mereka yang anti nilai-nilai agama.
Sampai di sini, jelaslah kiranya apa maksud di balik kampanye anti politik identitas.
Saya memandang fenomena banjir dukungan ke Anies ini diseabkan dua hal yang mendasar.
Pertama, kuatnya politik identitas Anies –karena itulah lawamn-lawan Anies getol kampanye anti politik identitas. Tetapi saya tidak percaya kalau identitas yang dikagumi dari seorang Anies adalah yang sepele-sepele –seperti misalnya, wajah, postur tubuh, gaya bertutur dan penampilan– meskipun dalam hal ini Anies tidak kalah dari bakal calon yang namanya beredar saat ini. Bahkan di bidang berkomunikasi, misalnya, Anies boleh dibilang unggul, demikian juga dari jejak rekam pendidikan.
Anies justru digandrungi karena identitas nilai yang melekat pada dirinya, yang terekam selama perjalanannya menumbangkan Ahok pada pilkada DKI dan konsistennya ia mewujudkan visi-misi membangun Jakarta. Secara sederhana, politik identitas anis tergambar dalam slogan : “Maju kotanya, bahagia warganya”. Slogan ini bisa disandingkan dengan ungkapan : “Bangunlah jjwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Visi pembagnunan fisik dan ruhani, pembangunan yang dilandasi nilai-nilai agama. Itulah politik identitas Anies.
Kedua, sebagai perwujudan dari hukum causalitas, sebab akibat; setiap aksi akan menimbulkan reaksi dengan arah gaya berlawanan sebagaimana dirumuskan dalam hukum newton II.
Kehidupan berbangsa dan bernegara selama hampir satu dekade ini, harus diakui, dipenuhi gunjang-ganjing di semua aspek ipoleksosbudhankam. Rakyat, dalam situasi gunjang-ganjing ini, ditempatkan pada posisi menanggung resiko. Di sisi lain, dalam situasi gunjang-ganjing ni, banyaknya oknum aparat yang justru meraup keuntungan ekonomi atu pun politik dengan melawan hukum secara terang-terangan.
Rakyat sudah tidak tahan dan karenanya menghendaki perubahan. Jadi, banjir dukungan terhadap Anies, adalah sebuah hukum alam kausalitas, sebuah anti thesa dalam proses dialektika alamiayah, atau reaksi yang muncul sebagai akibat atmosfer berbangsa dan bernegara selama hampir satu dekade ini.
Dalam konteks ini, kalau pun, misalnya, bukan anies yang muncul sebagai calon presiden, tetapi bukan pula dari orang-orang yang sekarang menikmati kekuasaan, menurut pandangan saya akan dibanjiri dukungan rakyat. Jadi, dalam situasi sekarang, mungkin berlaku selogan “Asal bukan dari lingkaran rejim yang berkuasa”.
Mengingat peran para buzzer begitu besar dalam menciptakan atmosfer gunjang-ganjing negeri ini, maka perlawanan terhadap para buzzer pun tumbuh berkembang. Setidaknya, apa saja yang disiarkan oleh bazzer, akan direspon secara berlawanan. Karena itulah, meski buzzer getol menyiarkan keburukan Anies, rakyat mengabaikan dan bahkan lebih mendukung Anies. Semakin kuat tekanan pada anies, akan memunculkan dukungan terhadap Anies yang semakin kuat pula.
Karena kitu, saya percaya, calon-calon presiden yang di kampanyekan atau didukung oleh buzzer, yang nota bene adalah bagian dari rejim ini, akan justru tidak laku.
Tinggal persoalannya adalah: bagaimana jika nantinya anes dipasangkan dengan mereka orang yang sekarang menikmati kekuasaan. Dengan LBP, misalnya, atau Puan Maharani mungkin, atau siapalah diantara penikmat kekuasaan sekarang.
Ini bukan mustahil, jika Surya Paloh menginginkan ?
Ayo, saya tunggu pendapat dan komentar saudara-saudaraku…