Menu

Mode Gelap
Tempuh Jalur Hukum, Polda Diminta Tangkap Aktor Demo Rumah Tahfiz Siti Hajar Anies Unggul Telak di Polling Capres Tokoh NU, Nadirsyah Hosen Dr. H. Jeje Zaenuddin Pimpin PERSIS Masa Jihad Tahun 2022 – 2027. Ini Harapan PW Persis Sumut Begini Solusi Kelola BBM dan Listrik dari Ketua Pemuda Persis Kota Medan Mulia: Perda No. 5/2015 Jadi Proteksi Bagi Pemkot Medan Bantu Warga Tak Mampu

Artikel · 24 Jul 2022 15:46 WIB ·

Anies Baswedan: Gagasan, Narasi, Karya (1)


Anies Baswedan: Gagasan, Narasi, Karya (1) Perbesar

Bapak-Ibu dan saudara-saudara yang saya hormati.

Terus terang saya tidak tahu persis, mengapa saya diminta untuk memberikan tanggapan melalui diskusi ini, buku “Anies Baswedan Gagasan, Narasi dan Karya, Menjawab Tantangan Masa Depan Bangsa”, yang ditulis Habib Abdurrahman Syebubakar dan Habib Smith Alhadar, dua sahabat yang saya kenal sejak awal dibentuknya WAG “Institute for Democracy Education(IDe) – Human Development” yang didirikan  oleh sahabat saya, almarhum Ivan Hadar, seorang sosiolog yang saya kenal baik, sejak pertengahan tahun 1990-an.

Independen

Bisa jadi saya diminta ikut bicara dalam diskusi ini justru karena saya bukan politikus.

Saya seorang  pekerja kemanusiaan  biasa, yang independen, yang dalam pergaulan sehari-hari bersikap non sektarian, non-partisan, dalam 20 tahun terakhir banyak mendampingi komunitas-komunitas warga sederhana di kampung kota DKI Jakarta ini.

Saya ingin tetap jadi manusia merdeka, yang dalam Pilkada 2017, saya ekspresikan dengan menjadi seorang Golput..

Maka izinkanlah pada kesempatan ini saya ingin bicara tentang Anies Baswedan lebih sebagai manusia biasa yang sedang berproses dalam kepenuhannya sebagai manusia Indonesia yang berakal, bernurani, beriman,  ketimbang sebagai makhluk politik belaka.

Bukankah Anies Baswedan sebagai calon presiden  akhir-akhir ini sedang banyak dibicarakan kesiagaannya untuk bertarung dalam Pemilu 2024 yang masih jauh itu?  Sehingga tanpa sadar kita cenderung memandang/menuntutnya untuk menjadi sosok manusia yang sempurna, mudah bagi kita untuk menyematkan gambaran dirinya yang serba superlatif, atau sebaliknya serba negatif secara total dalam objek buli-bulian..

Saya pun tetap merasa bebas pada awal kepemimpinannya, saya bersama “Forum Akademisi dan Praktisi Pecinta Kampung Kota” di mana saya menjadi fasilitator komunikatornya, pernah mengingatkan dan mengkritik Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno.

Forum Kampung Kota Mengingatkan Anies-Sandi Akan Janjinya, 15 November 2017 (https://rujak.org/forum-kampung-kota-mengingatkan-anies-sandi-akan-janjinya/).

Juga bersama 32 kawan saya terlibat dalam Gugatan Pencemaran Udara terhadap Gubernur DKI, Gubernur Jawa Barat, Walikota Banten dan Presiden RI.

(Warga Menang di Gugatan Polusi Udara Jakarta, Jokowi dan Anies Divonis Langgar Hukum)

Saya lebih ingin membahas nilai-nilai kehidupan yang diperjuangkan Anies Baswedan.

Manusia Anies Baswedan

Saya mengenal Mas Anies Baswedan di tahun 2007 di kantor Kang Mohammad Sobary, ketika saya sedang mencari bantuan untuk menyelenggarakan Festival Budaya Anak Pinggiran (3000-an) Jabodetabek 2007. Waktu itu Mas Anies Baswedan baru diangkat sebagai  rektor Paramadina.

Tenang, ramah murah senyum, tak banyak bicara, suka mendengar, terbuka,  kalau bicara yang perlu dan efektif saja, respek pada lawan bicara, meski baru dikenal, dan memang percaya diri dan cerdas. Orang Jawa bilang penampilannya “nyatrio”, seperti satriya Jawa, dari kalangan bangsawan..

Baru dalam Pilkada Jakarta 2017, setelah komunitas warga Bukit Duri yang saya dampingi proses pemberdayaannya selama 17 tahun itu  digusur-paksa pada tanggal 28 September 2016 oleh gubernur DKI petahana Basuki Tjahaya Purnama waktu itu,  Mas Anies sebagai calon gubernur datang ke kampung kami, memberi simpati kepada warga korban gusuran,  sekaligus berkampanye dalam Pilkada 2017.

Meski pendekatannya simpatik, tapi waktu itu saya tidak terlalu antusias. Kan semua ini dalam rangka kampanye juga.

Kami masih trauma pada pengalaman kampanye Pilgub 2012, di mana cagub dan cawagub bahkan datang ke Sanggar Ciliwung di kampung kami Bukit Duri 2-3X, minta dukungan Paguyuban Warga Anti Penggusuran (PAWANG).

Tapi kemudian ketika gugatan warga Bukit Duri, baik gugatan class action di PN Jakarta Pusat maupun gugatan di PTUN dinyatakan menang, persis sesudah sebulan Anis-Sandi dinyatakan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih,  Gubernur Anies Baswedan mempersilakan kami, warga Bukit Duri korban gusuran, untuk datang ke balaikota.

Bahkan  Gubernur Anies saat itu berjanji kepada kami dan di depan publik, bahwa gubernur DKI, akan menerima putusan itu, dan tidak akan banding. Bahkan Gubernur Anies Baswedan kemudian  bertemu Presiden dan Menteri PU-PR untuk mohon agar pemerintah pusat juga tidak usah melakukan banding terhadap putusan menang warga Bukit Duri.

Waktu itu saya membaca di media dan mendengar sendiri dari Gubernur Anies bahwa sebenarnya Presiden juga sudah menyetujui untuk tidak banding, “Masa kita mau melawan warga kita sendiri”.

Tapi pada kenyataannya, ternyata pemerintah pusat, melalui Kementerian PU-PR tetap melakukan banding sampai di MA, bahkan sampai detik ini, belum ada putusan, terkatung-katung.

Legacy

Tapi rupanya Gubernur Anies tidak tergantung pada hasil putusan pengadilan. Gubernur Anies memang benar-benar  ingin membantu warga korban gusuran, bukan hanya di Bukit Duri, tapi Kampung Akuarium, Kunir, dlsb.

Gubenur ingin bekerja sama dengan warga korban gusuran, untuk membangun “Pilot Project” (proyek percontohan)  pemukiman warga miskin urban di beberapa lokasi di DKI Jakarta,  dengan konsep “Kampung Susun”, mungkin  sebagai solusi alternatif proyek DP Nol Persen yang kesulitan.

Begitulah selanjutnya, kami komunitas warga pinggiran ini ternyata diajak secara pro-aktif  bekerja sama oleh Pemprov DKI, dengan  konsep CAP,  “Community Action Plan”, yang berprinsipkan partisipasi dan kolaborasi, yang pada dasarnya adalah proses penyadaran dan pemberdayaan, baik untuk komunitas warga sederhana, maupun untuk jajaran Pemprov DKI, karena bagaimanapun ini hal dan pengalaman baru bagi kita semua. Kalau pendekatannya hanya legalitas hukum saja, tak ada terobosan “kemanusiaan yang adil dan beradab”, tak ada “political will” yang kuat dari gubernur dan jajarannya, tak bakal “Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung bagi warga eks gusuran Bukit Duri”  itu bakal terwujud.

Dan Insya Allah, pembangunan Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung itu sebulan dua bulan lagi bakal rampung.

Saya tahu, pembangunan hunian warga sederhana Kampung Susun hanyalah salah satu masterpiece kerja Pemprov DKI 2017-2022.

Saya tahu masih ada karya besar  yang besar-besar yang sudah selesai/akan selesai:

– Jakarta International Stadium (JIS),

– Formula E/Sirkuit Formula E-Prix Ancol Jakarta,

– Tebet Eco Park,

– Flyover Tapal Kuda Lenteng Agung,

– Jalur Sepeda Sudirman Bunderan HI,

– Revitalisasi Taman Ismail Marzuki..

Memang harus diakui, dalam praktik, seorang pemimpin demokratis, yang menggerakkan warganya dengan prinsip partisipatif dan kolaboratif secara konsisten dan konsekuen, itu jauh lebih sulit, terkesan lambat, rumit menghadapi barrier dan bagaimana mengatur  birokrasi, mencari dan mengatur sistem pendanaannya, pendayagunaan anggaran  itu dengan manajemen sebaik, seselektif serta  seefektif mungkin sehingga tidak bocor dan betapa  njelimetnya  menyusun aturan-aturan hukum untuk mendukung dan  mengawal proyek-proyek pembangunan itu sampai ke masa depan.

Begitulah Mas Anies Baswedan sebagai pemimpin adalah pribadi yang reflektif, berani melakukan diskresi, berani mengambil keputusan berdasarkan  pertimbangan yang komprehensif dan matang.

Maka benarlah prinsip yang jadi judul buku ini “Gagasan, Narasi dan Karya”.

Setiap karya di belakangnya ada narasi. Sebelum narasi harus ada gagasan. Tidak ada karya tanpa gagasan. Tidak ada kebijakan tanpa gagasan..

Dan prinsip ini kami saksikan, kami alami  sendiri dalam praksis kerjasama komunitas warga miskin urban, dengan Pemprov DKI dan para “stake holder”(para pemangku kepentingan) lainnya.

Saya ingat, 10 tahun lalu, saya mengunjungi Taman Bunga Keukenhof di Belanda yang dikenal di seluruh dunia sebagai salah satu taman bunga terbesar dan terindah di planet ini, yang dibangun pada tahun 1949 oleh calon wali kota Lisse. Lisse  merupakan kota kecil di dekat Amsterdam.

Pada awalnya, calon walikota Lisse itu mengusulkan diselenggarakannya  sebuah pameran bunga agar penanam bunga dari penjuru Belanda dan Eropa, dengan harapan pameran akbar ini akan membantu Belanda, untuk mengembangkan diri  sebagai eksportir bunga terbesar di dunia.

Maka melalui riset profesional  mendalam, dirancangbangunlah Taman Bunga  Keukenhof, di sekitar Kastil Teylingen, Lisse.

Karena prestasi dan legacy ini, ia terpilih sebagai Walikota Lisse. Dan kita tahu, dalam  waktu 50 tahun Keukenhof telah menjadi sebuah taman bunga terbesar dan terindah di dunia.!

Dan sejak 2017 sampai sekarang 2022, saya pun menyaksikan seorang gubernur, dengan tekun dan konsisten, sedang bekerja dalam team-workPemprov DKI bekerjasama dengan DPRD, komunitas-komunitas warga, sebagian besar warga DKI Jakarta, mengarungi segala tantangan dan kesulitan, akhirnya pelan tapi pasti, ternyata melahirkan berbagai “legacy”(warisan) yang berkualitas..

Ya sah-sah saja kalau seorang calon walikota, calon gubernur, atau calon gubernur mencalonkan diri/dicalonkan untuk menjadi walikota, gubernur atau Presiden, bermodalkan prestasi/legacynyata seperti itu.

Jadi bukan karena hasil survei-surveian saja, kongkalikong politik demi kekuasaan semata, guyuran  “money politic” dari para oligarki, dlsb. (*)

Artikel ini telah dibaca 21 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Bincang Bersama Ketua Umum Partai UMMAT: Perlunya Kesadaran Ummat Bahwa Kita Sedang Bertarung

21 Juni 2023 - 23:35 WIB

Narasi Politik Identitas, Indikasi Islamophobia Telah Merambah Bidang Politik

29 Maret 2023 - 21:37 WIB

Kalau Ingin Perubahan, Pilihan Yang Tersedia Memang Anies Baswedan

29 Maret 2023 - 17:54 WIB

Kenapa PBNU/NU Dianggap Pro Rezim atau NU Plat Merah?

3 Maret 2023 - 12:45 WIB

PBNU atau NU terlihat absen dalam sejumlah Isu penting yang berkaitan dengan hajat dan kemaslahatan umat.

Pemilu 2024: Quo Vadis Politik Islam?

27 Februari 2023 - 09:52 WIB

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terasa makin kehilangan makna karena kesenjangan sosial yang kian lebar dan dalam. Ini disebabkan diantaranya karena partai-partai Islam yang ada, belum mampu menjadi penyalur aspirasi umat Islam.

Sebira versus Siberia: Catatan Untuk Anies Baswedan

23 Februari 2023 - 14:17 WIB

Trending di Opini